Selasa, 27 November 2012

Cara Menghargai Orang Lain

Memberikan reward dan empatik kepada orang lain

Salah satu ciri orang yang memiliki kepribadian yang menyenangkan adalah ia mudah memberikan reward atau penghargaan berupa pujian tulus kepada orang yang telah berbuat baik sekecil apapun. Kata-kata seperti, "oh, memang betul-betul hebat kamu yah, atau, "wah, coba kalau tidak ada kamu tadi, bisa lain urusannya", dan lain-lain yang menggambarkan bahwa kita benar-benar dapat menghargai karyacipta orang lain. Coba kita bandingkan dengan ungkapan berikut, "ah, kalau itu sih siapa juga bisa", atau "yah, lumayan lah nggak jelek-jelek banget sih" dan yang semisalnya. Betapa kata-kata ini menampakkan kita belum dapat menghargai apa yang dilakukan orang lain. Coba kita lihat bagaimana Rosulullah ketika ada sesorang yang sedang bicara dengannya, maka dengan penuh khusuk beliau hadapkan badan, telinga, dan matanya untuk memperhatikan lawan bicaranya, dan tidak pernah beliau memotong pembicaraan orang terseb
ut, sampai ia benar-benara telah selesai dari pembicaraannya. Hal ini betapa beliau mengajarkan kepada kita untuk selalu menghargai orang lain, dan inilah caranya agar kita dapat memiliki kepribadian yang menyenangkan sehingga orang lain merasa nyaman berada di sisi kita.

Tidak bersikap angkuh

Banyak orang mengira bahwa dengan bersikap angkuh akan menjadikan diri kita disegani oleh orang lain, yang betul justru sebaliknya orang akan enggan bergaul dengan kita. Dalam realitas hidup bisa jadi ada orang yang merasa minder melihat kesuksesan hidup yang diraih oleh kita misalnya, rasa minder ini lalu akan melahirkan rasa rendah diri dan kurang bersahabat dengan kita. Pada saat inilah kita perlu menunjukkan sikap rendah hati kita untuk memulai mencairkan kondisi dengan bersikap ramah dan tawadu kepada mereka. Hal ini pula yang pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw, ketika ada seseorang yang hendak menghadap kepada beliau untuk suatu keperluan, namun karena besarnya wibawa rasulullah maka orang tersebut menjadi gugup dan tidak percaya diri, dengan santun kanjeng Nabi berkata, "santai saja, Aku bukanlah Malaikat, aku hanyalah seorang anak ibu dari suku Quraisy yang juga sama-sama makan bubur nasi". Sikap tawadu inilah yang membuat suasana menjadi cair dan berjalan normal, sehingga orang lain merasa senang berada disisi kita. Lalu coba kita bedakan dengan sikap syetan yang berkata, "sesungguhnya Aku lebih mulia dari Adam, karena aku diciptakan dari api, sedang Adam dari tanah," (Q.S. Shad:76).

0 komentar:

Posting Komentar